Starlink ‘Direct to Cell’: Revolusi Koneksi Internet Satelit Langsung di Ponsel Tanpa Perlu Operator

Direct to Cell

Internet satelit yang dimiliki oleh Elon Musk, Starlink, segera meluncurkan layanan “Direct to Cell“. Layanan ini memungkinkan koneksi langsung dari satelit Starlink ke ponsel pintar, tanpa perlu menggunakan jasa operator seluler. Pengguna tidak perlu lagi memesan kit Starlink (antena dan router WiFi) untuk menikmati layanan ini di ponsel mereka.

Saat ini, layanan Starlink Direct to Cell sudah tersedia untuk pelanggan bisnis di situs resminya. Dalam waktu dekat, Starlink akan meluncurkan kampanye untuk layanan ini, seperti yang diumumkan di laman resminya untuk Indonesia pada Rabu (5/6/2024) menurut KompasTekno.

Mulai tahun 2024, pengguna smartphone akan bisa mengirim pesan teks (SMS) melalui satelit, dan pada 2025, pengguna juga dapat melakukan panggilan, browsing internet, serta menghubungkan perangkat Internet of Things (IoT). Starlink belum memberikan rincian tentang kapan layanan ini akan tersedia secara global, termasuk di Indonesia, namun informasinya sudah dapat diakses di situs Starlink untuk Indonesia.

Saat ini, Starlink sedang menguji layanan Direct to Cell dengan operator seluler seperti T-Mobile di Amerika Serikat. Pada 2 Januari 2024, Starlink meluncurkan enam satelit pertama yang mendukung layanan ini. Informasi terbaru menyebutkan bahwa SpaceX akan meluncurkan 20 satelit Starlink lagi pada 4 Juni 2024, termasuk 13 satelit yang dapat menyediakan layanan Direct to Cell. Pada 8 Januari 2024, Starlink berhasil mengirim dan menerima pesan teks pertama melalui spektrum jaringan T-Mobile menggunakan salah satu satelit Direct to Cell.

Selain T-Mobile, Starlink juga bekerja sama dengan operator telekomunikasi di berbagai negara seperti Optus Australia, One NZ Selandia Baru, Rogers Kanada, KDDI Jepang, Salt Swiss, serta Entel di Chili dan Peru. Para mitra ini menyediakan spektrum 4G/LTE dalam frekuensi 1,6 GHz hingga 2,7 GHz yang digunakan oleh Starlink untuk mengirim sinyal satelitnya.

Menghubungkan ponsel langsung ke satelit memiliki tantangan besar. Menara seluler pada jaringan terestrial bersifat stasioner, sementara satelit bergerak dengan kecepatan tinggi, memerlukan transisi yang mulus antara satelit dan ponsel karena pergeseran Doppler dan penundaan waktu. Ponsel juga sulit terhubung ke satelit yang jaraknya ratusan kilometer karena penguatan antena dan daya pancar yang rendah. Untuk mengatasi ini, satelit Starlink dengan layanan Direct to Cell dilengkapi dengan silikon khusus, antena array bertahap, dan algoritma perangkat lunak canggih. Satelit ini berfungsi sebagai Base Transceiver Station (BTS) di luar angkasa dan dapat terhubung dengan ponsel yang mendukung jaringan LTE.

Meskipun begitu, kecepatan koneksi dari satelit Starlink Direct to Cell tidak bisa menyaingi jaringan seluler terestrial. Elon Musk mengatakan bahwa kecepatan satelit ini hanya sekitar 7 MB per zona, yang cukup untuk daerah tanpa sinyal, namun tidak secepat jaringan seluler terestrial.

Di Indonesia, layanan internet Starlink resmi beroperasi sejak pertengahan Mei 2024, namun menimbulkan sejumlah kekhawatiran. Pakar keamanan siber dan Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber (CISSReC), Pratama Persadha, menyatakan bahwa layanan Starlink bisa menjadi ancaman bagi pertahanan dan keamanan Indonesia. Karena Starlink beroperasi langsung kepada pelanggan tanpa melalui infrastruktur dalam negeri, pemerintah tidak memiliki akses dan kontrol terhadap data yang dipertukarkan melalui internet satelit Starlink.

Selain itu, satelit Starlink di orbit rendah Bumi (LEO) rentan diretas dan dijadikan senjata. Pratama menekankan bahwa pemerintah harus memaksa Starlink menjadi Network Access Provider (NAP) di Indonesia untuk memastikan bahwa sistem Starlink berinteraksi dengan infrastruktur telekomunikasi dalam negeri. Dengan demikian, Starlink tidak dapat menjual layanannya langsung kepada individu atau rumah tangga seperti yang dilakukan saat ini.