Kerajaan Kalingga – Kerajaan di Indonesia yang bercorak Hindu-Budha dan berkembang pesat di abad ke-16 hingga 17 M di pesisir utara Jawa Tengah.
Para ahli sejarah memperkirakan jika pusat kerajaan yang juga dikenal dengan nama Ho-Iing ini berada di daerah Pekalongan dan Jepara.
Sebagian besar masyarakat pada masa kerajaan ini merupakan penganut agama Budha dan Hindu. Hanya beberapa yang menganut kepercayaan leluhurnya.
Semua kerajaan yang mengalami kejayaan pada masa kepemimpinan Maharani Shima ini memakai bahasa Sansekerta dan Melayu Kuno sebagai bahasa sehari-hari.
Dalam sejarah Kerajaan Kalingga, raja, peninggalan dan masa kejayaan Ratu Maharani Shima dikenal sebagai seorang pemimpin yang sangat taat dengan peraturan kerajaan dan begitu tegas.
Maharani Shima sendiri memimpin sejak tahun 674 sampai 732 Masehi. Awalnya keberadaan kerajaan Ho-Ing ini diberitahu kan oleh salah seorang pendeta sekaligus penjelajah bernama I-Tsing.
Raja Ho-Ig sendiri tinggal di sebuah bangunan tingkat dengan atap dari daun palem serta memiliki singgasana terbuat dari gading.
Sebagian penduduk kerajaan pandai membuat minuman keras serta memiliki beberapa komoditi yang kerap ditawarkan, seperti perak, emas, gading gajah, cula badak dan kulit penyu.
Peninggalan Kerajaan Kalingga
Sebagai salah satu kerajaan besar di Indonesia yang sebagian penduduknya adalah pemeluk agama Hindu dan Budha, Kerajaan Kalingga memiliki peninggalan bersejarah dengan corak agama penganutnya.
Terlebih lagi mulai abad ke-7, yakni ketika masa pemerintahan Ratu Shima, kerajaan Ho-Iing sudah menjadi pusat kebudayaan Budha Hinayana.
Kerajaan Kalingga ini juga memiliki peninggalan berupa prasasti, candi dan situs sejarah, diantaranya berikut.
Prasasti
Peninggalan berupa prasasti ada dua buah yang ditemukan di daerah pesisir pantai utara pulau Jawa serta diyakini sebagai peninggalan Kalingga asli.
Dalam prasasti tersebut tersirat bukti jika memang pada zaman dahulu benar adanya kerajaan besar yang berdiri di kawasan pesisir pantai utara Jawa, yakni Kerajaan Kalingga.
1. Prasasti Tukmas
Prasasti ini ditemukan di lereng sebelah barat Gunung Merapi tepatnya di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabak, Magelang Jawa Tengah.
Peninggalan Kerajaan Kalingga ini ditulis dengan menggunakan bahasa Sansekerta serta memakai huruf Pallawa.
Aksara yang digunakan lebih muda jika dibandingkan dengan aksara yang digunakan pada masa Purnawarman.
Prasasti yang dipahatkan pada sebuah batu besar alam yang lokasinya berdekatan dengan sebuah mata air sekitar abad ke-7 M.
Pada prasasti Tukmas ini gak ada gambar trisula, endi, cakra, kapak, kalangsangka serta bungai teratai yang merupakan lambang hubungan antara manusia dengan para dewa Hindu.
2. Prasasti Sojomerto
Prasasti kedua ini ditemukan di desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Pada prasasti ini ditemukan jenis aksara Kawi dengan bahasa Melayu Kuno dan berasal dari abad ke-7 M.
Ukuran prasasti Sojomerto pun cukup besar, yakni dibuat pada batu andesit setinggi 78 cm dengan panjang 43 cm dan tebal 7 cm. Tulisan yang tertera terdiri hingga 11 baris dengan sebagian barisnya sudah rusak terkikis usia.
Isi dari prasasti Sojomerto ini bersifat keagamaan Siwais yang memuat keluarga dari tokoh utama yakni Dapunta. Seperti ibunya yang bernama Bhadrawati, ayahnya yang bernama Santanu serta istrinya yang bernama Sampula.
Tokoh utama Dapunta Salendra adalah cikal bakal dari raja-raja keturunan angsa Syailendra yang pernah menguasai kerajaan Mataram Hindu.
Penemuan dua prasasti inilah yang menjadi bukti kuat jika di kawasan pantai utara Jawa Tengah, Dulunya merupakan pusat berdirinya Kerajaan Kalingga, sebuah kerajaan bercorak Hindu Siwais yang dipimpin oleh Ratu Shima.
Sosok ratu yang begitu disiplin dan memegang teguh seluruh peraturan yang berlaku di dalam Kerajaan.
Candi dan Situs Bersejarah
Kerajaan dengan latar Hindu-Budha ini memiliki peninggalan lain yang masih dilestarikan hingga saat ini. Salah satunya yakni berupa candi dan berbagai situs bersejarah lainnya.
Candi dan situs bersejarah ini sama-sama ditemukan pada area puncak Gunung Muria. Semua candi dan situs tersebar di hampir seluruh puncak gunung. Berikut beberapa peninggalan yang harus diketahui.
1. Candi Angin
Candi Angin merupakan bangunan bersejarah yang ditemukan di Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
2. Candi Bubrah
Candi Bubrah merupakan bangunan bersejarah yang juga ditemukan di Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
3. Situs Puncak Sanga Likur
Situs peninggalan Kerajaan Kalingga lainnya yang terletak di Puncak Gunung Muria berdekatan dengan kecamatan Keling.
Baca juga : Perundingan Linggarjati
Dalam kawasan ini, Anda bisa menjumpai empat arca batu yang biasa dikenal dengan nama arca Wisnu, Togog, Narada, dan Batara Guru.
Hingga saat ini belum ada orang yang bisa menjelaskan bagaimana cara untuk mengangkut arca tersebut sampai ke puncak gunung, mengingat medannya yang begitu sulit.
Selain empat jenis arca tersebut, ala Arkeologi Yogyakarta juga berhasil menemukan Prasasti Rahtawun.
Di sini Anda juga bisa melihat 6 tempat pemujaan yang tersebar dari arah bawah sampai puncak gunung.
Keenam tempat pemujaan ini diberi nama tokoh pewayangan seperti Bambang Sakri, Abiyoso, Onggrig Saloko, Seuktrem, Pandu Dewono dan Kamunoyoso.
Masa Kejayaan Kerajaan Kalingga
Kerajaan yang juga kerap disebut dengan nama Ho-Ing ini mengalami masa keemasan pada saat kepemimpinan Ratu Shima yang terkenal dengan kedisiplinannya.
Hal ini membuat kerajaan-kerajaan lain di tanah air merasa segan, hormat dan kagum sekaligus penasaran dengan kepemimpinan Ratu Shima.
Pada kala ini, perkembangan segala macam budaya juga begitu pesat, termasuk perkembangan agama Budha yang berjalan dengan harmonis dan sangat rukun.
Keadaan inilah yang membuat wilayah kekuasaan Ratu Shima disebut dengan DI Hyang yang artinya tempat bersatunya dua kepercayaan Budha dan Hindu.
Dalam sektor pertanian, Ratu Shima mengadopsi suatu sistem dari kerajaan kakak mertuanya yang diberi nama subak.
Dari kebudayaan baru inilah lahir istilah Tanibala yakni kelompok masyarakat yang bermata pencaharian dengan bercocok tanam (bertani).
Menjadi kerajaan dengan corak Hindu di Jawa tengah, Kerajaan Kalingga mempunyai pertalian yang begitu erat dengan kerajaan Galuh.
Sikap disiplin dan ketaatan inilah Ratu Shima berhasil membawa kemajuan dan kejayaan pada Kalingga.
Kondisi ini menjadikan masyarakat Kalingga begitu makmur dan sejahtera, sebab sang Ratu sangat memperhatikan perkembangan ekonomi masyarakatnya.
Bukti nyata jika Ratu Shima selalu mengembangkan perekonomian masyarakatnya ialah dengan dibangunnya sistem irigrasi dan pertanian bagi rakyatnya.
Masa Kehancuran Kerajaan Kalingga
Setelah lama mengalami perkembangan yang begitu pesat, Kerajaan Kalingga akhirnya mengalami kemunduran. Kerajaan mengalami kemunduran sejak adanya persaingan dagang dengan kerajaan Sriwijaya.
Baca juga : Peninggalan Kerajaan Sriwijaya
Dimana Kerajaan Sriwijaya ingin menguasai semua jaringan perdagangan di pesisir pantai utara Jawa.
Serangan dari Kerajaan Sriwijaya mengakibatkan pemerintah Kijen pindah ke Jawa Bagian timur pada tahun 742-755 M. Pindahnya pemerintah Kijen bersamaan dengan Tarumanegara dan Melayu yang juga telah ditaklukkan oleh Kerajaan Sriwijaya.
Ketiga kerajaan ini merupakan saingan kuat pada jaman perdagangan Kerajaan Sriwijaya-Budha.
Setelah pindah tempat, Kerajaan Kalingga semakin mengalami kemunduran mengingat sektor yang membawanya Berjaya telah dikuasai oleh pihak lain. Tentunya ini menjadi beban tersendiri bagi kepemimpinan Kijen.
Dari sejarah Kerajaan Kalingga, raja, peninggalan dan masa kejayaan di atas, dapat diambil hikmah bagaimana bagusnya masa kepemimpinan Ratu Shima yang selalu memegang teguh kedisiplinan demi kemajuan dan perkembangan kerajaannya. Alhasil masyarakat kecillah yang mendapatkan dampak baiknya.
Selain itu, dalam praktik kehidupan di masa kini, sejarah Kerajaan Kalingga, raja, peninggalan dan masa kejayaan membuka diri dengan persaingan dari dunia luar juga sangat dibutuhkan agar tidak tergilas pihak lain yang terus memperbarui ilmu maupun perbekalannya demi menguasai sektor yang ia incar.